B30 TINGKATKAN SAHAM PERUSAHAAN KELAPA SAWIT
05 November 2019
PENOLAKAN ekspor crude palm oil (CPO/minyak kelapa sawit mentah) ke negara Eropa berpengaruh pada penurunan harga saham di perusahaan (produsen CPO). Hingga perdagangan Jumat, 11 Oktober, indeks sektor saham agrikultur berada di zona merah, yakni turun 13,67 persen ke level 1.350,60. Hal ini sejalan dengan saham-saham produsen CPO yang juga masih menurun.
Masih terus terjadi penolakan, saham-saham CPO masih akan tertekan karena harga CPO dunia belum menunjukkan perbaikan signifikan. Pasalnya, pergerakan saham-saham CPO sangat dipengaruhi harga CPO internasional.
Selama kebijakan dari negara-negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia belum mendukung, maka harga CPO sulit naik. Sebut saja India yang masih mengenakan tarif bea masuk lebih tinggi dibanding Malaysia untuk produk turunan minyak kelapa sawit asal Indonesia.
Hal itu turut melemahkan daya saing dan menurunkan ekspor Indonesia ke India. Diperkirakan sampai akhir tahun saham-saham sektor CPO masih akan tertekan. Pasalnya sentimen dari luar negeri masih begitu kuat untuk menekan harga CPO. Sebut saja langkah Uni Eropa untuk mengurangi permintaan CPO dari Indonesia dengan memberlakukan kebijakan yang menghambat ekspor CPO Indonesia ke kawasan tersebut.
Faktor lainnya, adanya spekulasi investor atas kemungkinan tercapainya kesepakatan perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok. Padahal, sebelumnya perang dagang ini menjadi kesempatan Indonesia untuk lebih banyak mengekspor CPO ke negeri Tirai Bambu tersebut. Sebab CPO menjadi substitusi kedelai yang diimpor Tiongkok dari Amerika Serikat.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) per 2018, Tiongkok menjadi pasar ekspor CPO terbesar ketiga dengan jumlah mencapai 4,4 juta ton sepanjang tahun lalu. Berada di bawah ekspor CPO ke Eropa yang mencapai 4,8 juta ton dan India 6,7 juta ton.
Penurunan harga saham pada sejumlah perusahaan produsen CPO akan kembali meningkat pada tahun depan, yakni penerapan program campuran minyak nabati atau biodisel 30 persen (B30) ke bahan bakar minyak (BBM) jenis solar mulai dilakukan Januari 2020.
Program ini diharapkan dapat menyerap kelebihan pasokan CPO, sehingga akan menggerek harganya. Tapi itu pun harus harus menunggu biodiesel diimplementasikan. Kalau implementasinya lambat dan penyerapannya tidak sesuai harapan, investor harus menunggu hingga kebutuhan CPO kembali meningkat.
Di tengah banyaknya penurunan saham perusahaan produsen kelapa sawit, sebaliknya justru ada beberapa saham perusahaan kelapa sawit yang meningkat. “Iya benar. Saham kita mengalami peningkatan,” ungkap Presiden Direktur Mahkota Group (MGRO), Usli Sarsi, belum lama ini.
Peningkatan nilai saham itu didorong kebijakan pemerintah yang akan menerapkan B30 tahun depan. Menurutnya, penerapan B30 akan meningkatkan penggunaan CPO di dalam negeri. Apalagi pemerintah terbilang sukses dalam menerapkan B20 di pada tahun ini.
Disambut Positif
Selain akan menerapkan B30, langkah pemerintah menunda pajak ekspor kelapa sawit sampai tahun depan sangat membantu dalam meningkatkan pendapatan laba perusahaan. Penundaan pungutan terhadap ekspor atas produk CPO dan turunannya hingga 1 Januari 2020, disambut positif para pelaku usaha kelapa sawit.
“Kita menyambut aturan penundaan pungutan karena bisa mengurangi biaya produksi, sehingga dapat turut meningkatkan harga beli tandan buah segar (TBS) di tingkat petani yang menjadi pemasok kelapa sawit,” katanya.
Bila awal tahun nanti pajak ekspor diberlakukan, tidak akan memberi pengaruh besar. Karena B30 sudah diberlakukan sehingga penyerapan CPO di dalam negeri lebih banyak. Dengan semakin banyak penyerapan di dalam negeri, diharapkan harga CPO semakin kuat dan tidak dipengaruhi negara pengimpor.
Dengan diberlakukan B30, dari total produksi CPO di Indonesia sebanyak 47 juta ton, hanya 65 persen untuk ekspor, sedangkan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri.
Meski tahun ini Indonesia kembali mengalami bencana kebakaran lahan yang sangat luas, Usli tidak terlalu khawatir akan berdampak pada penurunan ekspor CPO. Menurutnya, kebakaran lahan bukan semata-mata karena kebutuhan kelapa sawit. Kalau dikatakan tahun depan produksi kelapa sawit menurun, itu bukan disebabkan kebakaran lahan, tapi karena kemarau panjang dan petani kurang memberi pupuk.
“Kondisi ini sama pada 2016 lalu, terjadi kemarau panjang dan kebakaran lahan. Pada tahun berikutnya produksi kelapa sawit menurun,” katanya. Pemerintah harus melakukan kebijakan dan tindakan yang tegas terhadap pelaku pembakar lahan, sehingga tidak terulang kembali.
Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia bisa menjadi kekuatan ekonomi. Dunia butuh energi yang sustainable (berkelanjutan) untuk menghidupkan mesin kendaraan, pabrik, listrik, dan sebagainya. Selama ini penggunaan energi berbahan fosil tidak sustainable dan penyumbang pencemaran lingkungan.
Sementara energi dari matahari, air, udara memiliki keterbatasan. Sedangkan penggunaan energi dari nuklir memberi risiko besar bila terjadi kebocoran. “Kita sangat optimis CPO dinilai energi yang sustainable dan ramah lingkungan,” ungkap Usli.
Tidak semua negara dapat menanam kepala sawit, khususnya negara yang memiliki lebih dari dua musim. Sementara negara yang memiliki dua musim juga tidak semua cocok untuk ditamani kelapa sawit. Indonesia adalah negara yang memiliki lahan luas untuk tanaman kelapa sawit sebagai energi sustainable. Semua negara nantinya akan butuh CPO untuk menghasilkan energi.
Potensi besar CPO menjadi sumber energi, Mahkota Group mengambil langkah dengan mengakuisisi sebuah perusahaan kelapa sawit di Sumatera Selatan dengan nilai Rp120 miliar. Penambahan kelapa sawit diharapkan akan semakin memperkuat hasil produksi CPO bukan saja untuk kebutuhan ekspor, tapi juga kebutuhan dalam negeri. (fahrin malau)