INDUSTRI SAWIT TIDAK TERDAMPAK VIRUS CORONA
02 Maret 2020
Wabah virus Corona yang terjadi di Wuhan, Tiongkok dan menjalar ke beberapa negara tidak akan berdampak besar pada industri sawit di Indonesia.
"Penurunan ekspor CPO lebih dikarenakan terjadi kendala dalam pengiriman, khususnya di negara yang terpapar virus corona. Penurunan ekspor Indonesia juga terjadi semua komoditas. Kalau kita lihat dari pergerakan saham, hampir semua mengalami penurunan," ungkap Direktur Utama PT Mahkota Group Tbk, Usli Sarsi pada satu kesempatan belum lama ini.
Dia berkeyakinan, dalam beberapa bulan ke depan, permintaan CPO ke luar negeri akan kembali menggeliat. Menurutnya CPO sangat dibutuhkan manusia sebagai bahan minyak goreng, kosmetik, energi dan lain-lain. Penyebaran virus corona dari manusia ke manusia, bukan dari makanan ke manusia. itu berarti virus corona, tidak berdampak pada CPO.
Terhambatnya pengiriman CPO ke luar negeri, otomatis berpengaruh pada pendapatan industri sawit dari hulu ke hilir. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang tidak memiliki tangki timbun akan mengalami kesulitan memproduksi CPO. Akibatnya PKS tidak berani membeli Tandan Buah Segar (TBS) dari masyarakat. Sedangkan PKS yang memiliki tangki timbun masih dapat memproduksi CPO, walau tetap juga mengalami penurunan.
"Bagi kita sendiri tidak ada pengurangan produksi CPO, walau saat ini dunia dilanda wabah corona," sebut Usli. Dikatakannya, produksi CPO diolah menjadi minyak goreng di pabrik Refinery CPO milik Mahkota yang sudah siap beroperasi, setelah itu dimasukkan ke tangki timbun berkapasitas sangat besar.
Menurutnya langkah pemerintah agar produksi sawit Indonesia dikonsumsi di dalam negeri adalah langkah tepat. Selama ini produksi sawit luar negeri menjadi sangat mudah dipermainkan. Program B20, berlanjut ke B30 tahun 2020 dan di bulan Juli tahun ini menjadi B40 selanjutnya di awal tahun 2021 meningkat B50 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melepaskan ketergantungan sawit Indonesia di luar negeri. "Bisa dibayangkan bila sawit untuk kebutuhan energi, maka permintaan sawit terus meningkat," katanya.
Tekanan
Banyaknya tekanan sawit Indonesia yang dilakukan luar negeri, kata Usli, lebih dikarenakan persaingan bisnis, bukan karena kualitas sawit Indonesia yang rendah. Selama ini, sawit Indonesia yang selalu menjadi sorotan, khususnya negara penghasil minyak nabati. Ini menunjukkan bahwa sawit Indonesia memiliki kualitas tinggi.
Terakhir Uni Eropa meningkatkan standar batas aman terhadap kontaninan 3- monochlorpropanediol (3-MC-PD) dalam minyak goreng dari 2,5 ppm menjadi 1,25 ppm.
Menurut Usli, ini bukan hambatan, karena permintaan tersebut masih dapat dipenuhi karena ada alat yang mampu meningkatkan kualitas minyak goreng sawit dengan 3-MCPD di 1,25 ppm. Semakin rendah 3-MCPD, harga minyak goreng semakin mahal.
Berbagai upaya negara luar negeri untuk membatasi penjualan CPO dan minyak goreng sawit Indonesia lebih baik dari minyak goreng nabati. Ini yang selama ini belum terekspor.
Sumber : https://analisadaily.com/e-paper/2020-03-02/mobile/index.html#p=11