Ikuti kami




TARIF EKSPOR CPO MASIH WAJAR

05 Juni 2020

Terhitung 1 Juni 2020, pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan pungutan ekspor minyak kepala sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannnya. Hal ini tertuang lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.

Rencana pemerintah untuk menarik tarif ekspor CPO ungkap Presiden Direktur PT Mahkota Group Tbk (MGRO), Usli Sarsi seharusnya sudah dilakukan awal tahun 2019 berdasarkan PMK nomor 23 Tahun 2019 atas pungutan eskpor CPO dan turunannya yang berlaku 1 Januari 2020.

Bila dibandingkan tarif ekspor CPO PMK nomor 57/PMK.05/2020 dengan PMK nomor 23 Tahun 2019 terjadi naik dari 50 Dolar Amerika per ton menjadi 55 Dolar Amerikan per ton.

Pembatalan kenaikkan tarif ekspor CPO awal 2020 dikarenakan tahun 2019 lalu harga CPO turun akibat perang dagang Tiongkok dengan Amerika Serikat ditambah penolakan negara eropa pada industri sawit dengan alasan sawit Indonesia tidak ramah lingkungan.

Agar harga sawit tidak turun draktis, pemerintah memberikan relaksasi dengan tidak memungut pajak ekspor CPO. “Kalau sekarang pemerintah menerapkan tarif ekspor CPO cukup wajar mengingat harga sawit sudah lebih bagus bila dibandingkan pada tahun 2019 lalu,” ungkap Usli Sarsi, Rabu, (3/6).

Saat ini harga CPO sudah di atas YMR2.200 per ton. Dengan harga tersebut tarif pajak yang ditetapkan pemerintah kata Usli tidak terlalu memberatkan. Walau harga CPO sudah cukup membaik, diakuinya pendapatan industri CPO tahun ini mengalami penurunan.

Hal ini dikarenakan permintaan negara tujuan ekspor CPO Indonesia menurun. Untungnya lanjut Usli, industri sawit tidak terpengaruh besar pada pandemi Covid-19, sehingga masih tetap berjalan. Kalaupun ada terdampak, sangat sedikit sekali pengaruhnya. Ini karena hasil olahan sawit sangat dibutuhkan. Apalagi sekarang ini kebutuhan sabun di masa pandemi Covid-19 sangat banyak dipergunakan. Sedangkan bahan pembuatan sabun dari sawit. Tidak seperti sektor industrilainnya seperti perhotelan, pariwisata, properti dan sebagainya berdampak besar sehingga terpaksa merumahkan seluruh karyawan bahkan sampai melakukan PHK.

Menghadapi panen puncak, Usli memperkirakan harga Tandan Buah Segara (TBS) di tingkat petani akan kembali menurun. Ini karenaketersediaan tangki timbun yang dimiliki industri sawit di Indonesia masih terbatas. “Jangan sampai harga TBS terjadi pada tahun 2016 lalu, dimana industri sawit tidak dapat menerima TBS petani dan berhenti berproduksi karena tangki timbun yang dimiliki sudah penuh,” sebutnya.

Agar harga TBS tidak turun draktis yang perlu diperkuat adalah industri hilirnya dengan memperbanyak industri refinery, tangki timbun. MGRO sudah melakukan ini untuk melindungi harga TBS. Dengan adanya pabrik refinery maka hasil sawit dapat diolah menjadi Refined Bleached Doedorizad Palm Oil (RBDPO) sehingga lebih tahan lama karena kadar asam yang terkandung dalam sawit lebih sedikit. Selain itu RBDPO dapat diolah menjadi minyak goreng dan turunan lainnya.

Selain itu permintaan RBDPO di dunia cukup banyak. “Kita baru saja melakukan ekspor perdana RBDPO ke Malaysia dan ini terus ditingkatkan ke negara lain. Dalam waktu dekat juga memperoduksi minyak goreng”, sebutnya. Dengan semakin banyak Indonesia mengekspor RBDPO,maka semakin banyak TBS termasuk milik petani terserap. 

Langkah new normal yang mulai dilakukan banyak negara, Usli optimis industri sawit secara perlahan akan terus membaik dan dapat kembali memberikan devisa kepada negara.