Ikuti kami




INDONESIA PENGHASIL CPO, MENGAPA MIGOR NAIK? OLEH : USLI SARSI

14 Desember 2021

Harga minyak goreng (migor) di dalam negeri terus mengalami kenaikkan. Kalau diawal tahun 2021 harga migor dibanderol kisaran Rp11 ribu Rp15 ribu, kini sudah pada kisaran Rp19 ribu-Rp23 ribu. Kenaikkan ini menjadi kebingungan sebagian masyarakat, khususnya para ibu-ibu yang setiap hari mempergunakan migor. Katanya Indonesia memiliki lahan perkebunan sawit terluas dan penghasil crude palm oil (CPO) terbanyak di dunia, tapi mengapa harga migor berbahan CPO terus naik. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi CPO Indonesia tahun 2020 lalu sebanyak 47 juta ton. Dari jumlah tersebut CPO lebih banyak di ekspor untuk kebutuhan luar negeri, sedangkan konsumsi di dalam negeri tahun 2020 sekitar 17,35 juta ton. Bila dirinci lagi dari jumlah konsumen CPO di dalam negeri lebih banyak dipergunakan untuk biodiesel, sisanya untuk kebutuhan olahan lainnya, termasuk migor. 

Kalau dilihat dari jumlah produksi dan kebutuhan CPO di Indonesia, seharusnya kenaikkan harga migor tidak terjadi. Tapi perlu diketahui bahwa CPO bahan baku multi fungsi yang dapat diolah berbagai kebutuhan. Selain migor, CPO bisa diolah menjadi cokelat dan selai cokelat. Lipstik, margarin dan selai mentega. Sabun, kue kering, mi instan, sampo, biodiesel dan masih banyak lainnya. Multi fungsi inilah yang menyebabkan permintaan CPO setiap tahun mengalami peningkatan. 

Hukum Pasar 

Naik turunnya harga dipengaruhi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam hukum penawaran jumlah barang yang ditawarkan akan selalu berbanding lurus dengan harganya. Artinya, jika harga barang naik, maka jumlah barang yang ditawarkan bertambah. Sebaliknya, jika harga turun, maka jumlah barang yang ditawarkan akan berkurang. Sedangkan dalam hukum permintaan bahwa jumlah barang yang diminta akan selalu berbanding terbalik dengan harganya. Artinya jika harga barang naik, maka jumlah barang yang diminta akan berkurang. Sebaliknya, jika harga barang turun, maka jumlah barang yang diminta akan bertambah. 

Kondisi yang terjadi saat ini, permintaan CPO di dalam maupun luar negeri meningkat, sedangkan ketersediaan CPO sedikit. Ini diakibatkan perubahan iklim El Nino dan La Nina, telah mengganggu hasil produksi pertanian dan perkebunan. Di Eropa, hasil pertanian banyak mengalami gagal panen, termasuk hasil produksi bunga matahari, kedelai yang merupakan bahan baku untuk membuat minyak nabati. Begitu pula dengan China penghasil batu bara sebagai bahan energi juga mengalami kekurangan. Untuk menutupi kekurangan kebutuhan tersebut, terlebih-lebih menghadapi musim dingin, permintaan CPO mengalami peningkatan untuk kebutuhan energi dan minyak nabati. Bila dibandingkan dengan sumber energi lainnya, biodiesel berbahan CPO masih lebih murah. Begitu pula dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit juga masih lebih murah. 

Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia setelah Malaysia tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar CPO di dunia. Ini disebabkan hasil penen sawit dua tahun terakhir mengalami penurunan disebabkan perubahaan iklim. Tahun lalu penurunan hasil panen sawit disebabkan kekeringan, sedangkan tahun ini penurunan hasil panen disebabkan curah hujan yang terlalu tinggi. Belum lagi ditambah pemberian pupuk sedikit satu atau dua tahun lalu akibat hasil panen berkurang dan harga tandan buah segara (TBS) pada waktu terjadi kekeringan sedikit turun, sementara permintaan CPO tidak mengalami kenaikkan secara signifikan. 

Begitu pula dengan Malaysia yang seharusnya ikut memenuhi kebutuhan pasar CPO di dunia selain disebabkan iklim juga adanya pandemi Covid-19. Banyak Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Malaysia dipulangkan ke Indonesia. Akibatnya produksi CPO Malaysia berkurang karena tidak ada yang memanen.

 

Siapa Diuntungkan? 

Kalau dikatakan kenaikkan harga migor menguntungkan perusahaan CPO, kurang tepat. Lagi-lagi terjadi hukum penawaran dan permintaan. Bila penawaran sedikit sementara permintaan meningkat, otomatis harga naik. 

Akibat tingginya permintaan CPO, harga TBS mengalami kenaikkan yang cukup signifikan. Kalau sebelumnya harga TBS kisaran Rp1.000 Rp1.200 per kilo, kini naik kisaran Rp3.000-an. Ini tentu saja sangat menguntungakan pemilik perkebunan kelapa sawit. Walau hasil panen berkurang, tapi didukung banyaknya permintaan CPO sehingga menyebabkan harga mengalami kenaikkan sampai 300 persen dari harga sebelumnya. Kenaikkan harga CPO otomatis mengikuti kenaikkan harga TBS. Keuntungan yang diperoleh pemilik perkebunan, harusnya dimanfaatkan untuk melakukan perawatan yang baik dengan memberikan pupuk sehingga hasil panen untuk berikutnya lebih baik dan banyak. 

Untuk memenuhi kebutuhan barang berbahan CPO di dalam negeri agar tidak terjadi kenaikkan siginfikan seperti migor yang kini terjadi perlu dilakukan penangan jangka pendek, menengah dan panjang. Penanganan jangka pendek supaya harga migor dapat kembali stabil, pemerintah dapat melakukan kebijakan dari tarif pungutan ekspor CPO. Pungutan pajak CPO yang diperuntukkan peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan program pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana, promosi, dan insentif biodiesel, juga mensubsidi pembelian CPO untuk kebutuhan migor. Selama ini harga migor mengikuti harga CPO. 

Jangka menengah dengan membatasi pengugnaan bahan sawit untuk biodiesel sampai B100. Program biodiesel yang terealisasi B30. Agar penggunaan CPO tidak terlalu banyak terserap untuk energi, perlu dibatasi sampai B40. Setelah hasil produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan, baru dilakukan peningkatan secara bertahap. Migor dan biodiesel sama-sama dibutuhkan, tapi migor mutlak dipenuhi untuk kebutuhan masyarakat. 

Kebutuhan migor dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Itu berarti kebutuhan CPO untuk olahan migor di dalam negeri juga akan meningkat. Guna memenuhi kebutuhan migor di dalam negeri, pemerintah harus mendorong pengusaha membangun perusahaan penyulingan (refinery) CPO sehingga menghasilkan produk consumer goods, termasuk migor. Salah satu perusahaan PT Mahkota Group Tbk akan membangun refinery di Dumai. 

Kebijakan membatasi ekspor CPO yang dilakukan pemerintah sudah sangat tepat. Selama bertahun-tahun Indonesia penghasil CPO terbesar di dunia hanya menjual dalam bentuk bahan mentah. Pembatasan ekspor CPO seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, bukan berarti Indonesia anti asing atau tidak mengakui perdagangan bebas. Sebagai negara penghasil bahan baku, seharusnya para investor yang datang ke Indonesia. Bukan bahan baku yang di ekspor. Bonus demografi, Indonesia membutuhkan lapangan kerja. Dengan bahan baku dan tenaga kerja yang tersedia, Indonesia menjadi surge untuk berinvestasi. 

Jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan CPO, hasil panen kelapa sawit harus terus ditingkatkan setiap tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perkebunan kelapa sawit pada tahun 2020 mencapai 8,9 juta hektar. Walau pemerintah saat ini belum memberikan ijin baru pembukaan lahan baru, dengan luas perkebunan kepala sawit saat ini masih bisa dimaksimalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan CPO di dalam dan luar negeri. 

Mempertahankan kesuburan lahan menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil panen. Salah satu dilakukan dengan penggunaan pupuk organik. Sisa olahan TBS menjadi CPO dapat diolah menjadi pupuk. Ini jumlahnya tidak sedikit. Selain itu lahan yang selama ini tidak produktif dapat dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit sehingga tidak membuka hutan menjadi lahan baru. Sawit anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sumber : https://analisadaily.com/e-paper/2021-12-13/files/mobile/index.html#12