Ikuti kami




KISAH WHITNEY DAN PENTINGNYA SEKOLAH KHUSUS PENYANDANG AUTISME DI INDONESIA

13 April 2021

Sama seperti kebanyakan anak lainnya, Whitney (18) lahir secara baik dan normal. Menginjak usia tiga tahun, orangtua Whitney merasa ada yang tidak biasa dari putri mereka.

Keanehan Whitney itu terlihat ketika ia kesulitan bermain dengan teman-teman seusianya. Ia cenderung lebih senang bermain dan menghabiskan waktu sendiri.

Selain itu, ia juga sering tidak merespon ketika namanya dipanggil dan sering tidak bisa menatap mata lawan bicaranya.

“Waktu itu saya kira ada yang salah dengan pendengaran Whitney,” ungkap orangtua Whitney, Usli Sarsi ketika mengenang kejadian 15 tahun lalu.

Ia pun pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatan pendengaran Whitney. Namun, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi pendengaran Whitney baik-baik saja.

Usli pun mulai khawatir. Berbagai cara dari medis hingga nonmedis telah ia tempuh untuk mengobati Whitney.

Pengobatan yang dijalani Usli tak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke luar negeri. Namun, semua itu tak membuahkan hasil.

Sampai pada akhirnya seorang dokter di Malaysia menyimpulkan bahwa Whitney menyandang sindrom autisme kategori ringan.

“Ketika mendengar pertama kali seperti tidak percaya. Abang Whitney itu normal. Untuk memastikan pendapat dokter di Malaysia, saya pun berobat ke tempat lain. Namun, jawaban yang saya temui tetap sama,” cerita Usli sembari berkaca-kaca.

Mengetahui kondisi putrinya, Usli bersama istri terus mencari informasi tentang penyakit tersebut. Tidak seperti sekarang, 15 tahun lalu, informasi mengenai sindrom autisme tidak mudah diperoleh.

Dalam sebulan, Whitney harus menjalani terapi selama seminggu penuh. Ini perlu dilakukan selama dua tahun.

Usli dan istri pun harus rela pulang-pergi Medan-Malaysia untuk menemani Whitney menjalani masa pengobatan.

Memasuki usia enam tahun, Whitney mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Namun, meski sudah bersekolah, ia tetap asyik dengan dirinya sendiri.

Usli pun memutuskan untuk menyekolahkan Whitney di Singapura. Sekolah yang dipilih merupakan tempat khusus untuk anak-anak dengan sindrom autisme.

Pemilihan sekolah di Singapura tersebut dilakukan Usli karena pada saat itu belum ada sekolah khusus penyandang autisme di Medan.

Sejak saat itu, istri Usli memutuskan untuk pindah ke Singapura guna mendampingi Whitney. Begitu pula abang Whitney yang ikut pindah sekolah ke Singapura.

Meski ketiga anggota keluarganya tinggal di Singapura, Usli tetap berada di Medan untuk bekerja. Ia akan pergi ke Singapura sekali dalam seminggu untuk menengok keluarganya.

“Sekarang Whitney sudah berusia 18 tahun. Ia sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Kalau dididik dengan baik dan penuh kasih sayang, anak-anak autis bisa hidup dengan normal,” terang Usli.

Ia pun memberi contoh sosok Albert Einstein, penyandang autisme yang sukses menjadi ilmuwan hebat dunia karena menemukan teori relativitas.

Sampai saat ini, Whitney punya kegemaran mendengarkan musik dan jalan-jalan. Usli berharap suatu saat nanti ada bakat dalam diri putrinya yang bisa dikembangkan.


Mendirikan White Light

Di dunia ini tentu tidak ada satu orangtua pun yang ingin anaknya terlahir dalam kondisi autis. Hingga sekarang, belum diketahui secara pasti mengapa seorang anak bisa terkena sindrom ini.

Menurut Usli, mendidik anak bukanlah perkara mudah. Setiap orangtua butuh kesabaran yang besar untuk mendidik anak. Kondisi ini kadang menyebabkan orangtua memilih untuk menyembunyikan anak-anak autis di rumah.

“Saya merasakan susahnya mendidik anak autis. Tidak mungkin orangtua mendidik anak autis di rumah. Anak autis butuh sekolah,” ungkap Usli.

Belajar dari pengalaman mereka, Usli dan istri pun memutuskan untuk mendirikan White Light pada 2017. Ide mendirikan sekolah ini muncul ketika keduanya menyekolahkan Whitney di sekolah untuk para penyandang autisme di Singapura.

Namun, hingga saat ini, Usli merasa bahwa pemerintah belum memberikan perhatian kepada para penyandang autisme. Beberapa masyarakat Indonesia bahkan masih belum bisa menerima anak-anak dengan kondisi autisme. Akhirnya banyak dari orangtua yang memutuskan untuk mengurung anak mereka di dalam rumah.

Kondisi ini jauh berbeda dengan Singapura yang sangat peduli dengan mereka. Bahkan, sebut dia, pemerintah Singapura mendirikan banyak sekolah khusus penyandang autisme untuk meringankan beban orangtua.

Seperti diketahui, untuk menyekolahkan anak penyandang autisme, orangtua perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Begitu pula dengan masyarakat yang mau menerima keberadaan anak-anak ini.

“Pada pakaian penyandang autisme, akan diberi tanda berupa pin beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi apabila mereka tersesat,” kata Usli.

Apabila mereka melakukan hal-hal ganjil, seperti berteriak dan bertingkah aneh, masyarakat dapat maklum dan tidak merasa terusik.

Di samping itu, Usli mengungkapkan, kehadiran para penyandang autisme di tengah masyarakat sebenarnya dapat membantu mereka bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik.

Sebagai informasi, penelitian menyebutkan bahwa dari 100 kelahiran, satu anak di antaranya merupakan penyandang autisme. Jumlah mereka saat ini pun cukup banyak.

Hal inilah yang menurut Usli harus dimanfaatkan oleh pemerintah dalam membuka lapangan kerja. Idealnya, satu guru maksimal mendidik tiga anak autis. Karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan para tenaga pendidik untuk berinteraksi dengan anak-anak dengan autisme.

Terlebih, dengan adanya sekolah-sekolah khusus penyandang autisme, para orangtua juga akan merasa terbantu.

Sumber : https://medan.tribunnews.com/2021/04/12/kisah-whitney-dan-pentingnya-sekolah-khusus-penyandang-autisme-di-indonesia?page=4