PT MAHKOTA GROUP TBK (MGRO) PERUBAHAN TARIF PE CPO MENJAMIN KEBERLANJUTAN
12 Juli 2021
Langkah pemerintah melakukan penyesuaian tarif pungutan ekspor (PE) pro¬duk kelapa sawit dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No. 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit disambut baik para pelaku perusahaan kelapa sawit.
“Ini langkah tepat untuk meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani kelapa sawit. Selain itu, langkah ini diambil untuk menjamin keberlanjutan pengembangan layanan pada program pembangunan industri sawit nasional yang mencakup perbaikan produktivitas di sektor hulu melalui peremajaan perkebunan kelapa sawit dan penciptaan pasar domestik melalui dukungan mandatori biodiesel,” sebut Chief Executive Officer (CEO) PT Mahkota Group Tbk, Usli Sarsi, Senin (5/7).
Keberlanjutan industri kelapa sawit sangat penting mengingat banyak sekali pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya di sektor ini. PE dengan batas harga berjenjang ini tentunya akan memacu ekspor Crude Palm Oil (CPO) tanpa terbebani pungutan tersebut meski kondisi harga CPO sedang anjlok. Sementara tarif PE CPO dapat membantu biaya peremajaan perkebunan dan pengembangan usaha kelapa sawit yang dikelola oleh pemerintah termasuk untuk para petani kepala sawit. Dengan begitu dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku kelapa sawit dari hulu sampai hilir.
Selama ini kata Usli, hasil CPO Indonesia sangat bergantung pada ekspor, sehingga harga sangat rentan dipermainkan negara penerima. Tapi sekarang secara perlahan pemerintah mulai melepas kebergantungan ekspor dengan mengelola hasil CPO menjadi biodiesel.
Dengan direvisi pungutan ekspor CPO oleh pemerintah, negara penerima tidak bisa sesuka hati lagi menaikan biaya impor CPO. . Bila harga CPO naik, tarif pungutan ekspor otomatis naik. Apabila negara penerima juga menaikkan tarif impor, harga CPO akan semakin tinggi, tentu saja akan memberatkan negara penerima. Negara yang membutuhkan CPO mau tidak mau akan menurunkan tatif impor.
“Kita tidak kawatir semakin naik harga, ekspor CPO berkurang,” kata Usli.
Kebutuhan CPO kata Usli terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak saja di luar negeri, tapi juga di dalam negeri. Hasil produksi CPO di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. Indonesia masih butuh lahan pekerbunan baru untuk memproduksi CPO lebih banyak. Saat ini baru beberapa turunan yang diolah dari CPO, sementara masih ada ratusan produk yang dapat dihasilkan dari bahan CPO. Hasil pungutan ekspor CPO ini nantinya dipergunakan untuk pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutkan.
Ramah Lingkungan
Industri kelapa sawit dikatakan Usli adalah industri ramah lingkung. Industri kelapa sawit merusak lingkungan bentuk black campaign yang dilakukan negara luar untuk melindungi produksi minyak dari tumbuhan-tumbuhan dan sayuran mereka miliki.
“Kelapa sawit menghasilkan minyak lebih banyak dari pada tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran. Begitu juga dari perbandingan penggunaan lahan, kelapa sawit lebih sedikit. Produksi minyak negara Eropa tidak mampu mengimbangi produksi minyak kelapa sawit,” jelas Usli.
Selama ini, isu kelapa sawit tidak ramah lingkungan karena lebih menonjolkan proses. Kedepan pengolahan kelapa sawit dapat dilakukan dengan mengedepankan ramah lingkungan.
“Pengolahan kelapa sawit kita lakukan dengan pendekatan ramah lingkungan. Kita sudah melakukan penanaman kelapa sawit di daerah pasang surut dan hasilnya sangat baik,” jelas Usli. (rin)
Sumber : analisadaily.com